Filosofi Nagisa Shiota: Aku Hanya Manusia Tanpa Tujuan

Anime14 Dilihat

Dalam lattice kehidupan yang berkelindan, di mana kita sering dijebak dalam kebisingan rutinitas dan ekspektasi sosial, aku bertemu dengan Nagisa Shiota—seorang karakter yang menggambarkan absurditas manusia. Di dalam dirinya tersimpan pertanyaan yang tak terjawab: Apa makna hidup jika kita tidak memiliki tujuan yang jelas? Dan lebih mendalam lagi, dapatkah seseorang benar-benar menjadi pembunuh dan tetap mempertahankan kemanusiaannya?

Nagisa, dengan sifat alami yang tenang dan observatif, memiliki pengamatan tajam terhadap dunia di sekelilingnya. Bakatnya dalam analisis dan observasi membawanya pada kesadaran bahwa kehidupan ini penuh dengan ketidakpastian dan absurditas. Dalam setiap interaksi, ada nuansa yang tersisa—kekuatan diam yang selalu mengamati. Apa makna dari ketenangan ini? Apakah ia adalah tanda dari pemahaman mendalam tentang keabsurdan hidup, atau hanya pelarian dari kenyataan?

Ia adalah anak yang, dalam ruang hampa, berusaha menemukan tempatnya. Sifatnya yang kompleks, di satu sisi berempati dan baik hati, namun di sisi lain pasif dan belum menemukan tujuannya, memperlihatkan sebuah dilema. Apakah ketidakpastian di dalam dirinya adalah sebuah momen keheningan di tengah kekacauan, ataukah dia benar-benar tidak memiliki arah yang pasti?

Dalam Episode 7, Nagisa Shiota mempertanyakan tujuan dari pelatihannya sebagai pembunuh. Dia merasa terasing dari kebutuhannya untuk membunuh—apakah tindakan ini adalah manifestasi dari ketidakpuasannya terhadap kenyamanan, atau dia sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih besar, yaitu keabsurdan dari kehidupannya sendiri?

Celah Antara Keinginan dan Kenyataan

nagisa shiota

Seperti Camus yang berargumen dalam salah satu karyanya, “The Myth of Sisyphus,” bahwa kehidupan itu sendiri mungkin tidak memiliki makna yang baku, Nagisa adalah contoh nyata dari perjuangan itu. Apakah mungkin dia adalah Sisyphus modern yang dihadapkan pada batu besar yang harus didorong tanpa akhir? Ketika ia berjuang dengan ketidakpastian dan kecemasan, ia menjalani kehidupan yang ditentukan oleh orang lain—terjebak dalam tugas untuk membunuh Koro-sensei yang melawan naluri kemanusiaannya.

Karma Akabane, yang sama-sama memiliki sisi gelap dalam perjuangannya untuk melawan ketidakadilan, adalah cerminan dari dilema Nagisa. Mengapa mereka memilih jalan ini jika mereka tahu betapa menyedihkannya posisi mereka? Karma yang cerdas dan manipulatif kadang terhalang oleh rasa takut dan ego, sementara Nagisa, meskipun memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, tetap terjebak dalam ketidakpastian dan keraguan. Pandangan ini menunjukkan bahwa bahkan di tengah potensi besar, ketakutan akan kegagalan dapat menjadi penghalang terbesar dalam meraih tujuan.

Absurditas Sejati dan Pembunuhan Kenyamanan

Nagisa, dengan kemampuan untuk membunuh yang tampaknya mengalir dalam darahnya, mempertanyakan keberadaan dan tujuan dari kekuatan tersebut. Di balik semua ini, apakah yang dia cari? Apakah ada ruang untuk membunuh rasa nyaman dan mengejar kehidupan yang lebih bermakna? Ketika dia akhirnya melawan Koro-sensei, pertempuran itu bukan hanya soal membunuh, tetapi tentang penerimaan atas diri sendiri dan absurditas hidup.

Dalam Episode 22, ketika Nagisa menghadapi Koro-sensei, dan momen di mana dia akan memutuskan hidupnya sendiri dengan keputusan yang mungkin mengubah nasibnya, dia dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang hidup dan mati. Apakah dia akan memilih untuk melakukannya demi orang yang dianggap layak, atau dia hanya mengikuti alur tujuan orang lain?

Nagisa adalah gambaran manusia yang tidak tahu tujuan, terpaksa hidup dalam bayang-bayang ekspektasi. Keputusannya untuk menjadi seorang guru setelah semua yang terjadi menunjukkan cara khasnya untuk membunuh rasa nyaman yang ada dalam kehidupan sudut pandang masyarakat. Dengan berbagi pengetahuan, dia bukan hanya membunuh musuh, tetapi juga membunuh diri yang terjebak dalam kebiasaan, memberikan makna baru bagi keberadaannya.

Nagisa Shiota dan Konsep Absurd Menurut Albert Camus

Nagisa Shiota dari Assassination Classroom mewakili individu yang berjuang untuk menemukan makna di tengah masyarakat yang sering kali tidak logis dan tidak adil. Karakter ini beresonansi dengan ide-ide yang diungkapkan oleh Albert Camus tentang absurditas—konsep bahwa kehidupan manusia tampaknya tidak memiliki makna yang mendalam, tetapi kita tetap mencari makna dalam pengalaman kita.

Kutipan “Man is the only being that refuses to be what he is” mencerminkan konflik eksistensial yang dialami oleh Nagisa Shiota dalam Assassination Classroom. Ia adalah individu yang memiliki kemampuan membunuh dan tumbuh dalam lingkungan yang menuntutnya menjadi pembunuh, namun secara batin menolak untuk menerima peran tersebut. Nagisa merasa terasing dari identitas yang dipaksakan padanya, dan terus mencari jati diri di luar peran yang ditentukan oleh masyarakat dan tugasnya. Penolakan inilah yang menunjukkan kemanusiaannya—bahwa manusia bukan hanya sekadar menjalani kodrat, melainkan berjuang untuk menentukan siapa dirinya.

Pernyataan Albert Camus, “The absurd is born out of this confrontation between the human demand and the unreasonable silence of the world,” menjadi cermin bagi pergulatan batin Nagisa. Di tengah dunia yang kejam dan tidak memberi jawaban, ia mencoba menemukan makna dan koneksi dengan orang lain. Meskipun hidupnya diarahkan pada satu tujuan absurd—membunuh guru yang mereka cintai—Nagisa tetap memiliki harapan dan keinginan untuk memahami makna keberadaannya. Dalam keheningan dunia yang tidak memberi kejelasan, absurditas muncul, dan di situlah perjuangan Nagisa menjadi nyata.

“Live to the point of tears,” menjadi gambaran sempurna dari bagaimana Nagisa menjalani kehidupannya. Meski diliputi ketakpastian dan tekanan emosional, ia memilih untuk tetap hadir secara emosional bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Ia belajar memahami penderitaan orang lain, bukan dari kekuatan fisik, tetapi dari empati dan sensitivitasnya. Kehidupannya dijalani dengan intensitas emosional yang tinggi, di mana cinta, kesedihan, dan harapan bertemu, membentuk pribadi yang kuat sekaligus lembut dalam menghadapi realitas yang menyakitkan.

Kutipan lain dari Camus, “There is no fate that cannot be surmounted by scorn,” mempertegas bahwa manusia memiliki kekuatan untuk menolak takdir yang tidak diinginkannya. Nagisa bukanlah sekadar korban keadaan. Meski awalnya ditempatkan dalam peran sebagai pembunuh, ia memilih jalan yang berbeda. Keputusan untuk menjadi guru menunjukkan bahwa ia menantang ekspektasi dan menolak tunduk pada nasib. Ia mengambil alih kendali hidupnya, menjadikannya subjek aktif dalam menentukan arah hidup, bukan hanya objek dari situasi yang menjeratnya.

Terakhir, kutipan “I would rather live my life as if there is a God and die to find out there isn’t, than live my life as if there isn’t and to die to find out that there is,” menggambarkan sikap eksistensial Nagisa dalam menghadapi hidup yang tidak pasti. Meski tanpa keyakinan penuh atas masa depan atau makna dari apa yang ia lakukan, ia tetap berusaha hidup sebaik mungkin, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu memiliki nilai jika dijalani dengan kesungguhan. Bersama teman-temannya, ia memilih untuk bertindak, untuk peduli, dan untuk berjuang—meski tidak ada jaminan hasilnya seperti yang diharapkan. Inilah bentuk keberanian sejati: terus berjalan di tengah keraguan.

Menemukan Makna di Tengah Keabsurdan

Keberadaan Nagisa Shiota adalah contoh dari manusia yang berjuang dengan keabsurdan hidup, yang terikat dalam kebingungan antara keinginan dan kenyataan. Mungkinkah dalam ketidakpastian ini terdapat makna yang lebih dalam? Apa yang diajarkan hidup ini tentang investasi dalam hubungan, bahkan ketika takdir tampaknya cukup kejam?

Nagisa adalah simbol dari perjuangan kontemporer yang harus dihadapi oleh semua orang. Keputusan untuk menerima absurditas, alih-alih melawannya, adalah kekuatan yang membantu dia menemukan jalannya sendiri. Dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian, apakah keberanian terletak pada kemampuan untuk terus melangkah meskipun tidak tahu ke mana arah jalan itu akan membawa?

Jadi, seperti Nagisa, kita mungkin tidak memiliki tujuan yang jelas, tetapi dalam pencarian tanpa akhir ini, kita dapat menemukan keindahan dan makna—di balik setiap langkah, ada tantangan dan keberanian, dan di balik setiap keabsurdan hidup, ada pelajaran yang menunggu untuk kita pelajari.